Lomba Menulis yang Bikin Kecewa: Kualitas atau Keberuntungan?


Meme lomba menulis tentang naskah penuh typo tapi tetap bisa diterbitkan

Sudah lama banget aku nggak nulis cerpen. Tapi suatu hari, sahabatku mengirim link ke suatu lomba menulis yang pesertanya harus berkriteria tertentu yang tidak bisa dia ikuti.

Awalnya aku nggak begitu tertarik ikut. Tapi nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku merasa ada dorongan buat ikut. Jadilah otak penulis cerpenku yang udah karatan ini berontak.

Tapi karena aku udah bertekad buat ikutan, maka segala daya dan upaya aku kerahkan, wkwkw. Dan akhirnya selesai. Aku kirim mepet deadline. Lagian, masa pengumpulannya juga cukup singkat, sekitar sepuluh hari.

Dan bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80, muncul juga itu pengumuman. Penulis-penulis terpilih yang karyanya akan dibukukan menjadi buku kumpulan cerpen dan akan dipajang di perpustakaan.

Aku nggak menang? Aku nggak syok. Kecewa sedikit, but it's ok. Dari awal nulis aku juga nggak yang berpikir harus menang. Yang kalau kalah, dunia bakalan langsung kiamat atau aku bakal depresi.

Nggak. Aku juga tahu diri. Aku sudah lama banget nggak nulis cerpen. Dan yang bisa nulis di dunia ini bukan cuma aku doang.

Tapi apakah yang bikin aku syok?

Bukan karena cerpenku nggak lolos untuk dibukukan jadi antologi. Tadi aku sudah sebutin. Tapi karena salah satu cerpen yang lolos adalah cerpen yang menurutku nggak layak untuk itu.

Darimana aku tahu? Ya karena aku pernah baca cerpen itu!

Kilas balik dua pekan sebelumnya

Jadi setelah ngirim cerpenku waktu itu, aku ingin lihat cerpen-cerpen lain yang juga dilombakan.

Karena cerpen itu harus diunggah ke platform penyelenggara, maka pasti kelihatan karya-karya lain. Hanya tinggal klik tagarnya, maka muncullah cerpen-cerpennya. 

Aku lihatin satu-satu. Baca judul dan sinopsisnya. Nyari yang kelihatan menarik buat dibaca. 

Dari lebih dari 150 cerpen yang masuk, aku tertarik buat buka dua cerpen (tidak termasuk cerpenku sendiri). Dan dari dua cerpen itu, yang jadi kubaca hanya satu.

Judul? Menarik. 

Gambar? Oke. 

Sinopsis? Lumayan. 

Topik? Justru ini yang bikin aku tertarik.

Tapi tidak lama setelah membaca, aku mulai ngerasa agak aneh. Narasi yang agak terburu-buru, tipo dimana-mana, dan cerita yang quite poorly executed. Bahkan agak nggak masuk akal. Cara eksekusi ceritanya mirip dengan penulis yang terbiasa nulis genre romance menye-menye atau nulis fanfiksi yang tidak masuk akal. 

Atau bahkan tidak disunting atau disunting seadanya saja? Mungkin saja.

Ya, saya super kecewa

Menurutku ide cerita cukup bagus dan menarik. Hanya saja, ada hal-hal tadi yang aku sebutkan yang menurutku jadi tidak layak untuk diterbitkan.

Aku jadi bertanya-tanya, apakah semudah itu menulis ecek-ecek lalu hasilnya bisa menang dan diterbitkan? Apakah kualitas literasi zaman sekarang seperti itu? Yang kutahu, dimana-mana, yang menang lomba pastilah punya kualitas yang layak.

Meme lomba menulis tentang juri yang memilih karya penuh typo
Lomba menulis penuh typo, kok bisa lolos? 😂

Rasa kecewa itu datang bukan karena alasan. Selain karena karya penulis bersangkutan yang menurutku nggak layak, juga karena:

  1. Ajang ini diselenggarakan oleh perpustakaan besar.

  2. Bekerjasama dengan satu komunitas dari perusahaan yang sangat terkenal dan besar di Indonesia.

 

Ngomong-ngomong soal rasa kecewa, aku jadi teringat pada satu buku yang pernah kubaca. Kamu bisa mampir ke review singkat buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring karya dr. Andreas Kurniawan. Mungkin kamu juga bakal relate.


Mungkin ada segelintir dari kalian yang ngebatin: Lah elu sendiri bisa apa? Karyanya sendiri nggak lolos, tapi sok ngritik karya orang lain!

Loh, justru karena aku nggak lolos, jadi aku berekspektasi karya yang lolos lebih bagus dari karyaku, dong.

Aku nggak menganggap diriku sombong dan tidak menghargai karya orang lain. Hanya saja, aku yang sudah punya minat di dunia kepenulisan sejak kecil, rasanya sudah cukup tahu mana tulisan yang kualitasnya layak atau tidak. Dan rasanya juga nggak butuh sekelas penulis peraih Nobel sastra buat bisa menilai.

Apalagi aku ini Grammar Nazi hahaha. Jadi nggak rela ajaaaa. It's okay aku nggak lolos, tapi boleh dong aku berekspektasi kalau karya yang lolos memang benar-benar layak?

Gimana bisa cerpen yang poorly executed dan deserved to be arrested by the grammar police bisa lolos? ðŸ¤”

Harapan

Aku nggak menyalahkan si penulis cerpen yang lagi kubicarakan ini. Siapa pun berhak ikut lomba apa pun selama memenuhi syarat yang ditetapkan.

Nah, buat pihak-pihak yang terlibat dengan kelolosan cerpen itu, mungkin kalian baca ini. Walau aku kecewa, tapi (tolong) jangan jadikan ini sebagai serangan. 

Jujur saja aku masih bingung kenapa cerpen seperti itu bisa diloloskan. Nggak adil, nggak sih? Apa iya kualitas karya yang dibukukan nggak ada bedanya dengan cerita di Wattpad yang tujuannya cuma buat senang-senang?

Meme lomba menulis tentang naskah typo yang bisa lolos antologi
Ikut lomba menulis ternyata nggak perlu rapi gaes, typo parah aja bisa lolos antologi

Well, tapi setidaknya aku jadi tahu: yang bersinar belum tentu bagus, dan yang tidak bersinar, belum tentu lebih tidak bagus.

Terus terang, aku menyesal pernah baca cerpen itu. Tapi ada hikmahnya, sih. Kalau saja saat itu aku nggak baca cerpen itu, aku nggak bakal tahu kualitas juri lomba ternyata bisa begini ðŸ™ƒ

0 comments

Mengundang pembaca untuk berkomentar. Gunakan kata yang santun. Komentar yang tidak baik atau spam akan dihapus.